Sabtu, 03 Januari 2009

Agus Ngamel, Pencetak Bintang Atletik dari Kei

Agus Ngamel, Pencetak Bintang Atletik dari Kei

M ZAID WAHYUDI

Cedera otot memaksanya mundur dari lintasan atletik saat berada di posisi puncak. Tetapi, Agustinus Ngamel (29) tak putus asa. Kecintaannya yang besar pada atletik membuatnya bertekad mencetak bintang-bintang atletik dari tanah Kei, Maluku.

Agustinus Ngamel, pelari cepat asal Maluku Tenggara itu, kembali menemukan jati dirinya sebagai bintang. Sejak mengundurkan diri dari kancah atletik tahun 2000, pria yang akrab dipanggil Agus itu sempat vakum dari dunia olahraga yang telah membesarkan namanya.

Pekan Olahraga Nasional (PON) XV 2000 di Surabaya merupakan kejuaraan terakhir yang ia ikuti. Peraih medali emas untuk nomor lari 100 meter dengan catatan waktu 10,51 detik dan 200 meter pada PON XIV 1996 di Jakarta itu mengundurkan diri dengan lapang dada.

Kekecewaan jelas ia rasakan. Terlebih lagi, saat itu Agus sempat diprediksikan akan menjadi sprinter Indonesia yang berpengaruh di Asia menggantikan Mardi Lestari.

Namun, kekecewaannya tak berkepanjangan. Saat mengetahui kegigihan atlet-atlet muda asal Maluku Tenggara di tengah segala keterbatasan sarana dan prasarana, hati Agus tergerak. Putra pertama pasangan Antonius Ngamel dan Etin Kuraetin (Maria Restituta) itu pun terjun sebagai pelatih atletik sejak tahun 2002.

Menunjukkan hasil

Menjadi pelatih atletik merupakan profesi yang tak pernah terbayangkan oleh Agus. Banyaknya kualifikasi khusus yang harus dimiliki seorang pelatih sempat membuat Agus ragu. ”Yang terpikirkan saat itu, ilmu yang saya miliki dapat digunakan untuk adik-adik di sini,” kata Agus yang ditemui di Tual, ibu kota Maluku Tenggara.

Berbekal pengalaman sebagai atlet yang telah mengikuti berbagai kejuaraan nasional maupun internasional, Agus menularkan ilmu yang dimilikinya kepada 17 muridnya. Bimbingan yang pernah didapat dari pelatih Tom Telles selama enam bulan di Universitas Houston, Amerika Serikat, semakin menambah kepercayaannya. Tom Telles adalah pelatih yang berhasil mengorbitkan sprinter Amerika Serikat, Carl Lewis, menjadi juara dunia.

Setiap hari Agus memberikan latihan atletik pada pagi hari sebelum berangkat bekerja di Bagian Keuangan Pemerintah Kabupaten Maluku Tenggara. Sore hari, sepulang dari kantor, dia juga turun ke lapangan meneruskan latihan pagi hari. Murid- muridnya berlatih secara bergantian sesuai dengan jadwal dan program latihan yang telah ia susun.

Kesibukannya di kantor dan panggilan jiwanya untuk melatih atletik membuat Agus harus pandai mengatur waktu dan menyusun prioritas. Lulusan Akademi Keuangan dan Perbankan Borobudur tahun 1998 itu bertanggung jawab atas gaji dan berbagai pembayaran lainnya bagi pegawai negeri sipil di kabupaten yang terletak di antara Laut Banda dan Laut Arafura itu.

Menjadi pelatih atletik adalah wujud kecintaan Agus terhadap atletik. Walaupun tanpa digaji dan mengambil waktu di sela-sela kesibukannya bekerja, bujang kelahiran Jayapura, 6 Agustus 1976, itu tetap berusaha memberikan yang terbaik bagi anak didiknya.

Upaya Agus mulai menunjukkan hasil menggembirakan. Dengan segala keterbatasan sarana dan prasarana olahraga di Tual, dua anak didik Agus mampu memperoleh medali perak untuk nomor lari 400 meter dan menempati urutan keempat untuk lari 800 meter dalam Kejuaraan Daerah Atletik Maluku 2005. Padahal, saat itu mereka merupakan atlet baru dan hanya berlatih selama dua minggu.

Persoalan gizi

Sebagian besar atlet bimbingan Agus berasal dari keluarga tidak mampu. Keterbatasan ekonomi keluarga membuat makanan yang dikonsumsi para atlet muda tersebut sangat tidak sebanding dengan tenaga yang harus mereka keluarkan setiap kali latihan.

Agus pun harus pandai-pandai mengatur program latihan yang sesuai dengan kadar gizi yang masuk ke dalam tubuh para atletnya. Proporsi latihan yang tepat mampu mengurangi risiko cedera atau sakit para atlet yang beberapa di antaranya dipersiapkan menghadapi Kejuaraan Daerah Atletik Maluku 2006 pada April nanti.

Kondisi lapangan tempat para atlet muda tersebut berlatih di Stadion Tual juga sangat tidak memadai. Lintasan lari di stadion tersebut menggunakan tanah putih dari batu karang yang keras. Tanah merah seperti standar lintasan lari sulit diperoleh di Maluku Tenggara.

Peralatan atletik yang dimiliki para atlet juga sangat terbatas. Sepatu lari yang menjadi peralatan utama kondisinya cukup mengenaskan. Selain alas sepatu sudah terkelupas, sepatu tersebut juga tidak memenuhi standar. ”Sepatu baru dapat memicu semangat baru bagi mereka,” kata Agus.

Dukungan dari pihak sekolah yang kurang semakin memperumit masalah. Para atlet muda diharuskan memilih apakah terus berlatih atau berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah.

Namun, tekad dan keyakinan para atlet muda didikannya untuk terus berlatih dan menjadi juara atletik mampu membesarkan hati Agus.

Kemauan yang keras memang menjadi modal utama untuk menjadi juara. Tetapi, dukungan moril dan materiil dalam berbagai bentuk sarana dan prasarana akan memuluskan jalan menuju juara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar